Tari Mpa’a Sampari, Tarian Klasik Nusa Tenggara Barat

Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang sangat terkenal akan kekayaan alam dan budayanya. Mulai dari Gunung Tambora dan Rinjani, pantai yang indah, laut yang bersih, dan lanskap alam lainnya yang begitu menawan dengan alam yang masih asri. Namun tidak hanya kekayaan alam, Nusa Tenggara Barat juga kaya akan budaya. Nusa Tenggara Barat khususnya Bima memiliki bahasa daerahnya sendiri, alat musik, juga tarian khas daerahnya. Dilansir dari Sejarah Bima, tari Bima dikategorikan menjadi lima jenis yaitu tarian istana (Mpa’a Asi), tarian rakyat (Mpa’a Ari Mai Ba Asi), tari kreasi, tari sanggar, dan tari yang dipengaruhi oleh budaya Islam. 

Tarian rakyat Bima atau Mpa’a Mai Ba Asi memiliki banyak jenis tari, salah satunya adalah Mpa’a Sampari. Tari Mpa’a Sampari merupakan tarian yang diciptakan pada masa Kesultanan Bima. Dilansir dari Pemerintah Kota Bima Kelompok Informasi Masyarakat, Mpa’a Sampari awalnya merupakan pertunjukkan atraksi untuk memperagakan keahlian prajurit kesultanan Bima pada masa jabatan Sultan Bima ke-2 yaitu Abdul Khair Sirajudin sekitar tahun 1640 hingga 1682. 


Busana Penari 


Tari Mpa’a Sampari merupakan tarian perang sehingga ditarikan oleh penari pria. Dilansir dari Indonesia Heritage Digital Library, penari Mpa’a Sampari menggunakan baju lengan pendek maupun lengan panjang, dengan celana panjang dan ikat kepala. Busana penari Mpa’a Sampari merupakan busana yang sederhana dan memungkinkan banyak gerakan bagi penarinya. Dewasa ini, busana Mpa’a Sampari menggunakan warna-warna yang cerah dan menarik. Aksesoris atau properti yang digunakan dalam Tari Mpa’a Sampari adalah sebilah keris dan juga sapu tangan. Karena pada awalnya Mpa’a Sampari adalah atraksi yang menunjukkan kepiawaian prajurit untuk menggunakan keris.


Gerak Tari Mpa’a Sampari 


Tari Mpa’a Sampari ditarikan dalam gerakan yang sangat dinamis penuh dengan unsur bela diri. Gerakan Mpa’a Sampari terlihat berbahaya namun menarik, karena penari akan saling menangkis dan menyabetkan keris. Dalam buku Upacara dan Busana Adat Bima dalam Naskah Abad ke-18 dan ke-19, daerah Nusa Tenggara Barat, para penari menggunakan sebilah keris dan sehelai sapu tangan melakonkan duel, menikam, membabat, menangkis, dan mengelak dari sabetan-sabetan maut. Tarian Mpa’a Sampari diiringi oleh musik yang bersemangat yang dihasilkan oleh gondang, gong, dan juga seruling. Tarian ini ditarikan pada berbagai acara mulai dari penyambutan tamu penting, khitanan, dan acara-acara penting.