Ibnu Sina, Ahli Kedokteran Muslim yang Kuasai Banyak Ilmu

Ibnu Sina merupakan satu di antara beberapa cendekiawan yang lahir di masa kebesaran Islam, yakni Masa Abbasiyah. Meski dikenal sebagai seorang dokter, Ibnu Sina juga banyak berkiprah di berbagai bidang ilmu pengetahuan.

Dinasti Abbasiyah adalah salah satu dinasti kebesaran Islam yang pernah memimpin kekhalifahan setelah masa Khulafaur Rasyidin atau masa empat sahabat rasul. Kebesarannya bertahan selama 5 abad dari tahun 750 M hingga 1258 M.


Selama itu pula, beragam ilmu pengetahuan berkembang pesat hingga menjadi pondasi utama dalam perkembangan ilmu pengetahuan pada masa-masa setelahnya. Menurut Publikasi Cendekia terbitan Kementerian Agama (Kemenag), pada masa Abbasiyah, ilmu pengetahuan masuk dalam kategori ilmu filsafat.


Profil Ibnu Sina

Ibnu Sina terlahir dengan nama lengkap Abu Ali al-Hussain Ibn Abdullah Ibn Sina di Iran pada tahun 370-527 H/ 980-1037 M. Semasa hidupnya, Ibnu Sina memiliki ketertarikan di berbagai bidang ilmu, mulai dari bahasa dan sastra, lalu geometri, logika, matematika, sains, fiqh, perbuatan, hingga ia mulai tertarik pada bidang ilmu kedokteran yang mengharumkan namanya.


Tidak melulu soal bidang ilmu dunia, ilmuwan yang kerap dikenal dengan nama Avicenna ini pun sudah menghafal Al-Qur'an sejak dirinya masih menginjak usia 5 tahun. Setelahnya, Ibnu Sina berhasil mengkhatamkannya pada usia 10 tahun. Buah dari mempelajari banyak bidang keilmuan inilah yang membawanya pada berbagai gelar yang disematkan untuknya.


Kiprah Ibnu Sina di Bidang Pengetahuan

1. Kedokteran

Dikutip dari Jurnal Annals of Saudi Medicine dan diunggah di situs US National Library of Medicine National Institute, Ibnu Sina menganggap ilmu kedokteran tidak sesulit ilmu matematika dan metafisika. Oleh karena itu, Ibnu Sina mampu membuat banyak kemajuan dengan menjadi ilmuwan.


Untuk bidang kedokteran, Ibnu Sina diberi gelar The Father of Farmacology (Bapak Farmakologi) dan Al-Syekh al-Rais al-Thibb (Mahaguru Kedokteran). Bukan tanpa alasan, salah satu karyanya yang terkenal yakni Al-Qanun fi al- Thibb (The Canon of Medicine) sudah dijadikan rujukan dunia dan diterjemahkan dalam 15 bahasa.


Sebagai dokter, melansir dari arsip detikcom, Ibnu Sina juga menjadi yang pertama memperkenalkan eksperimen dan hitungan cermat berbagai jenis penyakit menular berikut dengan cara-cara menjinakkannya. Selain itu, Ibnu Sina pula yang memperkenalkan teknik karantina sebagai upaya membatasi penularan virus pertama kalinya.


Untuk tindakannya untuk mengobati pasien pun, Ibnu Sina pernah melakukan pendekatan dengan ilmu psikologi. Dilansir dari Jurnal Heart Views dan diunggah di situs US National Library of Medicine National Institute, cerita bermula dari seorang pangeran Persia yang mengalami delusi bahwa dirinya seekor sapi hingga membuatnya malnutrisi dan mengalami depresi melankolia.


Kemudian, Ibnu Sina memanggil seorang tukang sembelih dan membuat seolah-olah tukang sembelih tersebut hendak menyembelih sang pangeran.


"Sapi ini terlalu kurus dan tidak siap dipotong. Sapi harus diberi makan yang cukup supaya cukup sehat, gemuk, dan bisa disembelih," kata Ibnu Sina yang saat itu mendekati sang pangeran sambil membawa pisau seperti hendak menyembelih sapi. Dalam cerita, sang pangeran pun menyegerakan diri untuk makan dan berakhir dengan kondisi yang sehat.


2. Geografi

Tidak hanya itu, di bidang geografi, Ibnu Sina mampu menjelaskan teori bagaimana sungai-sungai berhubungan serta kaitannya dengan gunung beserta lembah. Bahkan, ia berhasil menyatakan suatu hipotesis atau teori yang tidak bisa dilakukan oleh ilmuwan Yunani dan Romawi kuno pada masa Aristoteles masih hidup.


3. Kimia

Hingga di bidang ilmu kimia, Ibnu Sina berhasil mengembangkan dan melanjutkan apa yang telah ditemukan oleh Jabir ibn Hayyan (Bapak Ilmu Kimia). Kemudian, keahliannya dalam memperlakukan logam renda menjadi logam mulia menggunakan teknologi canggih, menarik perhatian keahlian Ibnu Sina dalam bidang geologi.


4. Filsafat

Terakhir, di bidang filsafat, Ibnu Sina dijuluki Guru Ketiga setelah Aristoteles dan Al-Farabi. Namun, hal ini justru membuat salah satu ulama seperti, Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa Ibnu Sina telah menyimpang dari ajaran Islam. Ia kemudian membuat sebuah buku berjudul Tahafut al-Falasifah (Kerancuan para Filosof) yang berisi kritikan pada Ibnu Sina serta Al-Farabi.


Hal itu lantaran menurut Imam Ghazali, pemikiran-pemikiran Yunani berhasil memengaruhi Ibnu Sina. Seperti di antaranya mengenal dan membuktikan adanya Tuhan, Ibnu Sina menggunakan ilmu matematika yang berdasar dari pandangan Pythagoras.